Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal
kita selaku umat muslim telah diwajibkan oleh
Allah SWT untuk mengeluarkan zakat, seperti firman Allah Swt : “Dan
dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Rasul, supaya kamu
diberi rahmat“. (Surat An Nur 24 : 56).
Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan apabila
telah memenuhi syarat – syarat yang telah ditentukan oleh agama, dan disalurkan
kepada orang–orang yang telah ditentukan pula, yaitu delapan golongan yang
berhak menerima zakat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat
At-Taubah ayat 60 :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf
yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
.”
Pengelolaan
zakat dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok. Namun mayoritas
ulama sepakat, lebih baik pengelolaan zakat dilakukan dan diatur pemerintah.
Di Indonesia pengelolaan zakat diatur dengan
Undang-Undang No 38 Tahun 1999 tentang pengeloalaan zakat dan pedoman
pelaksanaannya diatur dalam Keputusan Menteri Agama No 373 Tahun 2003 dan
Keputusan Dirjen Bimas Dan Urusan Haji No. D/291 tahun 2000 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan zakat. Organisasi pengelolaan zakat di Indonesia ada 2 yaitu
Badan Amil Zakat yang dibentuk oleh pemerintah dan Lembaga Amil Zakat yang
dibentuk oleh masyarakat dengan pengesahan dari pemerintah keduanya mempunyai
tugas pokok mengumpulkan , mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai
dengan ketentuan agama.
Ibadah zakat jika dikelola dengan baik akan
meningkatkan kesejahteraan umat, mampu meningkatkan etos dan etika kerja umat
serta sebagai institusi pemerataan ekonomi.
Suatu fakta sejarah bahwa pada masa awal Islam
zakat mempunyai kedudukan utama dalam kebijakan fiskal. Di samping sebagai
sumber pendapatan negara Islam, zakat juga menunjang pengeluaran negara
dan juga mampu mempengaruhi kebijakan ekonomi pemerintah Islam untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat terutama kaum lemah atau kaum dhu’afa.
Pasca dikeluarkannya UU No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat, lembaga-lembaga zakat pun banyak bermunculan. Manajemen dan
jaringan lembaga-lembaga itu diperbaiki dan semakin baik sehingga dapat
menjadi suatu gerakan tersendiri bagi pemberdayaan ekonomi umat (masyarakat).
Namun demikian, potensi zakat yang sebenarnya menurut banyak kalangan
belum dapat digali secara maksimal.
Selama ini, dalam benak masyarakat muslim yang
dimaksud zakat yang utama adalah zakat fitrah. Sementara zakat maal (zakat
harta) belum terinternalisasi dalam kehidupan umat Islam secara menyeluruh.
Kedangkalan pengetahuan ini menjadi penyebab pertama lemahnya kesadaran
berzakat di kalangan umat Islam sehingga perolehan zakat selama ini sangat
minim.
Selain itu, komitmen untuk mengeluarkan zakat
yang masih rendah juga menjadi penyebab. Bisa jadi umat Islam sebenarnya sudah
paham untuk mengeluarkan zakat dari harta yang mereka miliki, namun belum memiliki
komitmen kuat untuk menunaikannya. Sebuah komitmen untuk menjalankan ajaran
Islam dengan sempurna. Padahal, perintah zakat dalam Al-Qur’an selalu didahului
dengan perintah shalat.
Ini menunjukkan bahwa posisi zakat dalam Islam
sangat diutamakan. Penyebab lainnya adalah kurang profesionalnya pengelolaan
zakat di Indonesia. Tidak jarang kita temui para amil zakat hanya dibentuk
ketika menjelang Idul Fitri. Itupun sering kali hanya untuk menangani zakat
fitrah. Sementara pengelolaan zakat maal masih sangat kurang dipahami
masyarakat pada umumnya.
zakat mempunyai potensi untuk turut membantu
pencapaian sasaran pembangunan nasional. Dana zakat yang besar sangat potensial
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat jika disalurkan secara terprogram
dalam rencana pembangunan nasional. Potensi zakat yang cukup besar dan sasaran
distribusi zakat yang jelas seharusnya dapat sejalan dengan rencana
pembangunan nasional tersebut.
memberikan
kontrol kepada pengelola negara yang masih digerogoti penyalahgunaan uang negara
(korupsi). Penyalahgunaan ini disebabkan krisis iman, yang tidak tahan
menghadapi godaan untuk korupsi. Masuknya zakat ke dalam perbendaharaan negara
diharapkan akan menyadarkan, bahwa diantara uang yang dikorupsi itu terdapat
dana zakat yang tidak sepantasnya dikorupsi. Petugas zakat juga tidak mudah
disuap dan wajib zakat juga tidak akan main-main dalam menghitung zakatnya
serta tidak ada tawar-menawar dengan petugas zakat sebagaimana kerap
terjadi dalam kasus pemungutan pajak.
Meskipun
demikian, ada beberapa pertanyaan atau keberatan terhadap agenda ini. Hal ini
antara lain dikarenakan sudah terlalu lamanya zakat terpisah dari sistem negara
dan menjadi urusan masing-masing pribadi Muslim. Mengembalikannya ke dalam
sistem negara tentu bukan pekerjaan mudah. Akan banyak pihak yang keberatan
dengan berbagai alasan yang dikemukakan. Mereka yang berpotensi menolak
terutama berasal dari kelompok yang phobia dengan masuknya institusi-institusi
keagamaan ke dalam sistem kenegaraan atau menolak turut campurnya negara dalam
urusan keagamaan atau spiritualitas anggota masyarakat. Menurut mereka, zakat
tidak dapat masuk dalam sistem fiskal negara karena hanya ekslusif untuk umat
Islam dan kalau dipaksakan akan memicu disintegrasi bangsa. Alasan lainnya
adalah bahwa negara ini bukan negara Islam dan institusi-institusi keislaman
seperti zakat tidak dapat diadopsi dalam sistem kenegaraan.
Alasan
lain barangkali adalah bahwa zakat seharusnya dikelola sendiri oleh
kelompok-kelompok masyarakat. Campur tangan negara sudah terlalu banyak dan
jangan diperbesar lagi. Zakat merupakan suatu potensi yang unik bagi
pengembangan civil society dan menumbuhkembangkan kemandirian masyarakat itu
sendiri.
Terlepas
dari keberatan tersebut, faktanya zakat telah cukup memainkan peranan penting
dalam redistribusi kekayaan di tengah masyarakat Muslim. Terlebih lagi, zakat
pernah menjadi andalan dalam kebijakan fiskal masyarakat Muslim awal.
Pertanyaannya sekarang, kalau zakat ingin dikembalikan pengelolaannya oleh
negara dan diadopsi sebagai salah satu instrumen dalam kebijakan fiskal,
bagaimana halnya dengan hukum zakat itu sendiri? Adakah kebijakan fiskal
membawa pengaruh terhadap aturan-aturan zakat? Pembahasan selanjutnya berkaitan
dengan hal ini dilihat dari sisi subyek, obyek, sasaran, pendistribusian, dan
tarif zakat.
Menurut
ulama Fiqh, zakat tidak diwajibkan kepada non-Muslim, karena zakat merupakan
“anggota tubuh” Islam yang paling utama, dan karena itu orang kafir tidak
mungkin diminta menunaikannya, serta bukan pula merupakan hutang yang harus
dibayarnya setelah masuk Islam.
Hal
ini tentu menimbulkan ketimpangan dalam masyarakat, karena warga negara Muslim
diwajibkan membayar zakat, sementara warga negara non-Muslim tidak memikul
kewajiban tersebut. Dalam konteks kebijakan fiskal negara, tidak boleh ada
diskriminasi terhadap warga negara dalam memberikan kewajiban kepada negara,
termasuk dalam hal perpajakan.
Dengan
demikian, jika zakat menjadi instrumen dalam kebijakan fiskal negara, maka
sekat-sekat diskriminasi dalam hukum zakat hendaknya dapat diselesaikan, agar
semua warga negara sama kedudukannya dalam memenuhi kewajibannya kepada negara.
Untuk
menyelesaikan persoalan ini, sebagian ulama berpendapat bahwa warga non-Muslim
dikenakan jizyah sebagai penyeimbang zakat yang dibayarkan oleh warga Muslim.
Hal ini telah dipraktekkan pada masa-masa awal Islam, di mana warga non-Muslim
(zimmi) diwajibkan membayar jizyah kepada negara sebagai imbalan atas jaminan
perlindungan yang mereka terima. Namun, hal ini tentu tidak relevan lagi di masa
sekarang karena semua warga negara memiliki kewajiban yang sama dalam suatu
negara dan sudah jarang dikenal lagi istilah kafir zimmi dalam suatu negara
berpenduduk Muslim.
Persoalan
ini dapat diselesaikan dengan menggunakan pendekatan fenomenologi agama-agama.
Zakat merupakan kewajiban keagamaan yang bukan inovasi Al-Qur`an. Konsep
pembayaran pajak keagamaan telah ada di Babilonia kuno yang harus dibayarkan
oleh semua kelas penduduk dari raja sampai rakyat biasa. Pembayaran tersebut
dapat berupa hasil pertanian maupun dalam bentuk uang (Zaman, 1996: 167).
Kewajiban
zakat atau pajak keagamaan ini juga dapat ditemukan dalam Perjanjian Lama (Lev.
27:30; Deut. 14:22; Num. 18:21; Neh. 11:37). Dalam Al-Qur`an pun berulangkali
disebutkan bahwa umat-umat terdahulu juga dikenakan kewajiban untuk membayar
zakat. Hanya saja, mengingat perbedaan latar belakang kehidupan sosial ekonomi
pada waktu turunnya perintah zakat tersebut, maka obyek dan jumlah zakat yang
dikeluarkan berbeda dengan konsep zakat dalam Islam yang dibawa Nabi Muhammad
Saw. Selain itu, pembayaran zakat dalam Perjanjian Lama murni dimaksudkan untuk
lembaga-lembaga keagamaan, sementara dalam Al-Qur`an zakat ditujukan untuk
memberikan dukungan ekonomis kepada masyarakat dan bukan kepada hirarki institusi
keagamaan, seperti kepada pendeta dalam tradisi non-Muslim (Zaman,
1996:168-169).
Meskipun
demikian, dapat ditarik sebuah “benang merah” bahwa perintah zakat merupakan
perintah yang universal. Dengan demikian, dalam konteks kebijakan fiskal
negara, pajak keagamaan (Islam: zakat) dapat dikenakan kepada seluruh warga
negara, tanpa melakukan diskriminasi keagamaan.
Ada
baiknya sebelum zakat menjadi instrumen kebijakan keuangan negara,
penyelenggara negara memantapkan performannya sebagai clean government
dengan menuntaskan kasus-kasus keuangan negara. Dengan demikian diharapkan
kepercayaan masyarakat terbangun dan pada gilirannya akan dapat memaksimalkan
potensi zakat sesuai harapan.
.
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal
Reviewed by ELIDA KUSUMAS
on
04:47
Rating:
No comments:
Note: only a member of this blog may post a comment.