Makalah Muhkam dan Mutasyabih
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Quran,
kalam Tuhan yang dijadikan sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan umat
Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman Al-Quran dapat
diperoleh dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang tercangkup dalam Ulumul Quran dan menjadi salah satu bagian
dari cabang keilmuan. Ulumul Quran adalah ilmu yang membahas
tentang ayat Muhkam Mutasyabbih.
Sehubungan dengan persoalan ini, Ibn
Habib An-Naisabari pernah mengemukakan tiga pendapat mengenai kaitan ayat-ayat
Al-Qur’an terhadap muhkam-mutasyabih.
Pertama, seluruh ayat Al-Qur’an adalah muhkam berdasarkan firman Allah dalam (QS. Hud : 1), sebagai berikut :
“ Alif
Lam Ra’. (inilah) sebuah kitab yang ayat-ayatnya dimuhkam-kan, dikokohkan serta
dijelaskan secara rinci, diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi
Maha Tahu.” (QS. Hud : 1)
Kedua, seluruh
ayat Al-Qur’an adalah mutasyabih berdasarkan firman Allah dalam (QS.
Az-Zumar : 39), sebagai berikut :
Katakanlah: "Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan
keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan
mengetahui,”
(QS: Az-Zumar Ayat: 39)
(QS: Az-Zumar Ayat: 39)
Ketiga, pendapat
yang paling tepat, ayat-ayat Al-Qur’an terbagi dalam dua bagian, yaitu muhkan
dan mutasyabih berdasarkan firman Allah dalam (QS. ‘Ali Imran : 7),
sebagai berikut :
“ Dialah yang
menurunkan al-kitab (Qur’an) kepadamu. Diantar (isi)-nya ada ayat-ayat
muhkamat, itulah pokok-pokok isi Qur’an dan (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti
ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : kami beriman kepada
ayat-ayat mutasyabihat. Semuanya itu dari sisi Tuhan kami...” (QS. ‘Ali
Imran : 7)
Muhkam Mutasyabbih hendaknya dapat
dipahami secara mendalam. Hal ini dikarenakan, dua hal ini termasuk dalam objek
dalam kajian/pemahaman Al-Qur’an. Bahasa
Al-Qur’an ada kalimat yang jelas (muhkam) dan yang belum jelas (mutasyabih),
hingga dalam penafsiran Al-Qur’an (tentang
ayat muhkam mutasyabih-red) terdapat perbedaan-perbedaan.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah untuk
pembahasan pada makalah ini ialah
sebagai berikut:
1.
Apa pengertian dari Al-Muhkam dan
Al-Mutasyabih?
2.
Bagaimana sikap para ulama terhadap
adanya ayat-ayat Al-Mutasyabih?
3. Apa saja Aspek-Aspek Tasyabuh?
4. Apa Hikmah Ayat-Ayat Mutasyabihat?
C.
Tujuan Pembelajaran
Tujuan penulisan diantaranya adalah
:
1.
Dapat mengetahui pengertian dari
Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih.
2.
Dapat membedakan bagaimana sikap
para ulama terhadap adanya ayat-ayat Al-Mutasyabih.
3.
Dapat mengetahui aspek-aspek
tasyabu
4.
Dapat mengetahui hikmah dalam
ayat-ayat mutasyabihat
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Al-Muhkam Al-Mutasyabih
Secara
etimologis muhkam berasal dari kata hakama dengan pengertian “mana’a” yaitu melarang untuk
kebaikan. Kendali yang dipasang di leher binatang disebut hakama. Orang Arab
mengatakan hakamatu ad-dabbah artinya
aku melarang binatang itu dengan hikmah. Jika dikatakan ahkantuha artinya ja’altu
laha hakamah yaitu aku pasang kendali pada binatang itu agar tidak bergerak
liar.
Dari
pengertian ini muncul kata al-hikmah yang berarti kebijakan, karena ia dapat
mencegah kepemilikanya dari hal-hal yang tidak pantas. Ahkam al-amr berarti ia
menyempurnakan suatu hal dan mencegahnya dari kerusakan; Ahkam al-faras berarti
ia membuat kekang pada mulut untuk mencegahnya dari goncangan. Dan juga al-hukm
yang berarti memisahkan antara dua hal. Al-hakim adalah orang yang mencegah
kejadian kezaliman, memisahkan antara dua pihak yang berperkara, serta
memisahkan antara yang hak dan yang batil, dan antara yang jujur dan bohong.
Jadi
al-Muhkan adalah perkataan yang kokoh, rapi, indah, dan benar. Dengan
pengertian seperti itulah Allah SWT mensifati Al-Qur’an bahwa keseluruhan ayat-ayatnya
adalah muhkam seperti diterangkan dalam firmannya dalam Q.S Hud 11: 1 yang
artinya
“Alif laam raa, (inilah) suatu Kitab yang
ayat-ayatnya disusun dengan kokoh (uhkimat) serta dijelaskan secara terperinci
(fushshilat), yang diturunkan dari sisi Allah yang Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui.”
Al-Qur’an
seluruhnya muhkam dalam arti seluruh ayat-ayat Al-Qur’an itu kokoh, fasih,
indah dan jelas, membedakan antara hak dan batil dan antara yang benar dan yang
dusta. Inilah yang dimaksud dengan al-hikam al’am atau muhkam dalam arti umum.
Sedangkan
secara etimologis mutasyabih berasal dari kata
syabaha-asy-syibhu-asy-syabahu-asy-syabihu, hakikatnya adalah keserupaan dan kesamaan yang
biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Misalnya dari segi warna,
rasa, keadilan, dan kezaliman. Apabila diantara dua hal tidak bisa dibedakan
karena adanya kemiripan antara keduanya disebut asy-syubhan. Misalnya tentang
buah-buahan di surga (Q.S Baqarah 2: 25). Buah-buahan di surga itu satu sama
lain serupa warnanya, bukan rasa dan hakikatnya.
Dikatakan
pula mutasyabih adalah mutamatsil (sama) dalam perkataan dan keindahan. Jadi,
tasyabuh al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya
membetulkan sebagai yang lain. Dengan pengertian seperti itulah Allah SWT
mensifati Al-Qur’an bahwa
keseluruhan ayat-ayatnya adalah mutayabihah seperti diterangkan dalam
firman-Nya dalam Q.S Az-Zumar 39: 23 yang artinya:
“
Allah telah menurunkan perkataaan yang
paling baik yaitu Al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang
ulang. . . “
Dalam
uraian di atas
jelas bahwa dalam Al-Qur’an seluruhnya adalah muhkam dan mutasyabih. Tidak
demikian halnya jika kita menilainya dari terminologis, karena sebagai
ayat-ayat Al-Qur’an muhkamat dan sebagian lagi mutasyabih sebagaimana dalam
firman Allah SWT Q.S Ali ‘Imran ayat 3: 7 yang artinya:
“Dia-lah yang Menurunkan Kitab (al-Quran)
kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat”. Itulah pokok-pokok Kitab (al-Quran) dan
yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada
kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan
untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya
kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (al-Quran), semuanya
dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang
yang berakal.”
Menurut
ayat ini, jelas bahwa ayat-ayat Al-Qur’an ada yang Muhkam dan ada yang
Mutasyabih. Atas dasar itulah maka para ulama memberi definisi kedua jenis ayat
itu. Diantaranya:
1. Definisi
dari Dr. Amir dinyatakan sebagai pendapat Ahlu Sunnah. Muhkam adalah ayat yang
bisa dilihat pesannya dengan gamblang atau dengan melalui ta’wil, karena ayat
yang perlu dita’wil itu mengandung pengertian lebih dari satu kemungkinan.
Adapun Mutasyabih adalah ayat-ayat yang pengertian pastinya hanya diketahui
oleh Allah. Misalnya saat datangnya hari kiamat dan maka huruf tahajji; yakni
huruf-huruf yang terdapat pada awal serah seperti Qaf, Alif Lam Mim dan
lain-lainnya.
2. Definisi
dari Ibnu Abbas. Muhkam adalah ayat yang penakwilannya hanya mengandung satu
makna. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung pengertian
bermacam-macam.
3. Muhkam
adalah ayat yang maknanya rasional. Artinya, dengan akal manusia saja
pengertian ayat itu sudah dapat ditangkap. Tetapi ayat-ayat mutasyabih
mengandung pengertian yang tidak dapat dirasionalkan. Misalnya, bilangan
raka’at di dalam
salat 5 waktu. Demikian juga penetapan kewajiban shaum yang dijatuhkan pada
bulan Ramadhan, bukan pula bulan Sya’ban atau Muharam.
4. Ayat-ayat
Al-Qr’an yang muhkam adalah ayat yang nasikh dan padanya mengandung pesan
pernyataan halal, haram, hudud, faraidh dan semua yang wajib diimani dan
diamalkan.adapun mutasyabih ayat yang padanya terdapat mansukh, dan qasam
(sumpah) serta yang wajib diimani tetapi tak wajib di amalkan lantaran tidak
tertangkapnya makna yang dimaksud. Definisi ini menurut Dr. Amir Abd al-Aziz,
juga dinisabatkan kepada Ibnu Abbas.
5. Ayat-ayat
muhkam yaitu ayat yang mengandung halal dan haram. Di luar ayat-ayat tersebut
adalah ayat-ayat mutasyabih.
6. Ayat
muhkam adalah ayat yang tidak ter-naskh (tidak mansukh). Sementara ayat mutasyabih
adalah ayat-ayat yang dinasakh.
Kalau
secara etimologis muhkam dan mutasyabih disebut sebagai al-ihkam al-‘am dan
at-tasyabuh al-‘am, maka muhkam dan mutasyabih secara terminologis ini disebut
sebagai al-ihkam al-khash dan at-tasyabiuh al-khash.
Contoh
ayat mutasyabih antara lain adalah ayat Allah SWT (Q.S Al-a’raf 7: 54) yang artinya:
“Sungguh, Tuhan-mu (adalah) Allah yang
Menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia Bersemayam di atas
Arasy.** Dia Menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia
Ciptakan) matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya.
Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Maha Suci Allah, Tuhan
seluruh alam.”
2.
Aspek-Aspek Tasyabuh
Tasyabuh
artinya kesamaran makna. Ada tiga aspek dalam ayat-ayat mutasyabihat, yaitu
segi lafal ayat, makna ayat, dan pada lafal dan makna ayat sekaligus.
1. Tasyabuh
pada lafal ayat
Tasyabuh
terjadi disebabkan oleh karena kosakata (mufrodat) yang digunakan oleh Al Qur’an tidak
umum dipakai oleh bangsa arab seperti penggunaan kata “abban” dalam Surat Abasa
ayat 31.
“Dan buah-buahan serta
rumput-rumputan” (QS Abasa :31)
Dua orang sahabat yaitu Abu Bakar ash
Shiddiq dan Umar ibn al Khathab tidak tahu makna kata “abban” tersebut. Tatkala
Abu Bakar ditanya apa makna kata itu, beliau menjawab “Langit mana yang akan menaungiku,
bumi mana tempat aku berpijak, jika aku katakana sesuatu tentang Kitab Allah
apa-apa yang aku tidak punya ilmu tentangnya”. Senada dengan itu Umar juga
menyatakan “Kata “fakihah” kita tahu, tetapi apa maknanya “abban?”.
Makna
“abban” baru diketahui setelah dihubungkan dengan ayat berikut:
“Untuk kesenanganmu dan
untuk binatang-binatang ternakmu.” (QS Abbasa : 32)
Dari
ayat ini baru jelas bahwa “fakihah atau buah-buahan” adalah kesenangan untuk
kamu, sedangkan “abban” kesenangan untuk binatang ternakmu. “abban” artinya
rumput-rumput untuk binatang ternak.
Tasyabuh
juga disebabkan karena kata yang digunakan bersifat “musytarak” atau mempunyai
lebih dari satu pengertian, misalnya kata “quru” yang terdapat dalam Surat Al
Baqarah : 228.
Kata
“quru” dalam bahasa arab bisa berarti haidh dan bisa juga berarti suci. Jika
berarti haidh, maka masa iddah wanita yang ditalak oleh suaminya adalah tiga
kali haidh. Tetapi jika artinya suci, maka masa iddahnya tiga kali suci.
Tasyabuh
juga bisa terjadi disebabkan oleh susunan kalimat, baik kalimatnya ringkas,
luas atau karena susunan kalimatnya. Contohnya dalam surat An-Nisa ayat 3
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An Nisa ayat 3)
Sepintas sulit untuk memahami ayat
tersebut. Oleh sebab itu, untuk memahami ayat tersebut perlu diberi penjelasan
secukupnya dengan menambah keterangan sehingga kalimatnya menjadi:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap perempuan-perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, maka
nikahilah selain mereka perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi,.. “,
Dengan tambahan kalimat itu akan jelas
dan mudah dipahami maksud ayat tersebut, yaitu apabila seseorang khawatir tidak
berlaku adil terhadap anak yatim perempuan yang di bawah asuhannya jika
mengawininya, maka nikahilah perempuan lain yang lebih baik.
Contoh tasyabuh terjadi disebabkan oleh
kalimat yang luas.
Dalam QS Asy Syura ayat 11, sepintas
tasyabih terulang dua kali, karena setelah menggunakan alat tasyabih yaitu
huruf kaf ditambah dengan mitsl. Karena fungsi huruf kaf dan mitsl sama, yaitu mempersamakan sesuatu dengan yang lain. Menurut
para mufassir, pengulangan alat tasybih pada ayat itu bukanlah sesuatu yang
berlebih atau diperlukan, tetapi berfungsi untuk penguat.
Contoh
tasyabuh yang terjadi karena disebabkan oleh susunan kalimatnya yang tidak
urut, dalam surat Al Kahfi ayat 1-2.
“Segala puji bagi Allah
yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur'an) dan Dia tidak
mengadakan kebengkokan di dalamnya;
sebagai bimbingan yang
lurus, untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan
memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal
shaleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik,”
(Al Kahfi ayat 1-2)
Tasyabuh
dalam surat ini terjadi karena penempatan kata “qayyiman” tidak langsung setelah kata al-Kitab, padahal kata “qayyiman” merupakan keterangan sifat
dari kata al-Kitab. Jika ditempatkan langsung sesudah al-Kitab akan lebih mudah
dipahami dan makna cepat ditangkap langsung oleh pembaca dan pendengar.
2. Tasyabuh
pada makna ayat
Tasyabuh terjadi disebabkan oleh
karena kendungan makna ayat itu sendiri yang berbicara tentang hal-hal yang
ghaib seperti sifat Allah SWT dan hal ihwal Hari Akhir. Hal-hal ghaib seperti
itu, sekalipun tahu artinya, tetapi tentu saja akal manusia tidak bisa
mengungkap hakikat sifat-sifat Allah SWT dan hal ikhwal mengenai Hari Akhir.
Jadi, tasyabuh bukan disebabkan
oleh lafal yang gharib atau musyatarak, bukan pula dari susunan kalimat, tetapi
justru dari kandungan makna ayat-ayat itu sendiri.
3. Tasyabuh
pada lafal dan makna ayat sekaligus
Tasyabuh terjadi disebabkan oleh
karena lafal dan makna ayat sekaligus. Contohnya :
“Mereka bertanya
kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan
memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah
kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya;
dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
(QS Al Baqarah ayat 189).
Tasyabuh pada ayat ini terjadi karena
lafalnya yang padat dan juga dari segi makna.
3.
Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-Ayat
Al-Mutasyabih
Para ulama berbeda pendapat tentang
apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat diketahui oleh manusia, atau
hanya Allah saja yang mengetahuinya. Sumber perbedaan mereka terdapat dalam
pemahaman struktur kalimat pada (QS. ‘Ali Imran : 7)
Dalam memahami ayat tersebut, muncul
dua pandapat. Yang pertama, Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm di-athaf-kan
pada lafazh Allah, sementara lafazh yaaquluna sebagai hal. Itu
artinya, bahwa ayat-ayat mutasyabih pun diketahui orang-orang yang
mendalami ilmunya. Yang
kedua, Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm sebagai mubtada’ dan yaaquluna
sebagai khabar. Itu artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih hanya
diketahui oleh Allah, sedangkan orang-orang yang mempelajari ilmunya hanya
mengimaninya.
Ada sedikit ulama yang berpihak pada
ungkapan gramatikal yang pertama. Seperti Imam An-Nawawi, di dalam Syarah Muslim, ia berkata, “Pendapat inilah yang paling shahih
karena tidak mungkin Allah mengkhitabi hamba-hambaNya dengan uraian yang tidak
ada jalan untuk mengetahuinya.”. Kemudian ada Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu
Ishaq Asy-Syirazi yang mengatakan, “Tidak ada satu ayat pun yang maksudnya hanya diketahui Allah. Para ulama sesungguhnya juga
mengetahuinya. Jika tidak, apa bedanya mereka dengan orang awam?”.
Namun sebagian besar sahabat,
tabi’in, generasi sesudahnya, terutama kalangan Ahlussunnah berpihak
pada gramatikal ungkapan yang kedua. Seperti pendapat dari :
1) Al-Bukhari,
Muslim, dan yang lainnya mengeluarkan sebuah riwayat dari Aisyah yang
mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda ketika mengomentari (QS. ‘Ali
Imran ayat 7) :
“Jika engkau
menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabih untuk menimbulkan
fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, orang itulah yang dicela Allah, maka
berhati-hatilah menghadapi mereka.”
2) Ibn Abu
Dawud, dalam Al-Mashahif, mengeluarkan sebuah riwayat dari
Al-A’masy. Ia menyebutkan bahwa diantara qira’ah Ibn Mas’ud disebutkan :
“Sesungguhnya
penakwilan ayat-ayat mutasyabih hanya milik Allah semata, sedangkan orang-orang
yang mendalami ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabih.”
3) Ath-
Tabtani, dalam Al-Kabir, mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu Malik Al-Asy’ari.
Ia pernah mendengar Rasulullah SAW. Bersabda:
“Ada tiga
hal yang aku khawatirkan dari umatku, yaitu pertama, menumpuk-numpuk harta
sehingga memunculkan sifat hasad dan menyebabkan terjadinya pembunuhan. Kedua,
mencari-cari takwil ayat-ayat mutasyabih padahal hanya Allah-lah yang mengetahuinya...”
Sedang Ar-raghib Al-Ashfahany
mengambil jalan tengah dalam masalah ini. Beliau membagi mutasyabih dari segi
kemungkinan mengetahuinya menjadi tiga bagan:
1. Bagian yang
tidak ada jalan untuk mengetahuinya, seperti waktu tibanya hari kiamat.
2.
Bagian manusia menemukan sebab-sebab
mengetahuinya, seperti lafadz-lafadz yang ganjil, sulit difahami namun bisa
ditemukan artinya
3. Bagian yang
terletak di antara dua urusan itu yang hanya diketahui orang- orang yang
mendalami ilmunya.
4.
Hikmah
Ayat-Ayat
Mutasyabihat
Ayat-ayat
mutasyabihat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Ayat
mutasyabihat yang hanya dapat diketahui hakikatnya oleh Allah SWT semata,
seperti ayat-ayat tentang masalah-masalah yang ghaib.
2. Ayat-ayat
mutasyabihat yang dapat diketahui oleh siapa saja setelah mempelajarinya,
seperti ayat-ayat yang lafalnya gharib, musytarak dan kalimatnya padat, luas
atau karena susunan kalimat
3. Ayat-ayat
mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh orang awam, tetapi hanya dapat
diketahui oleh para ulama yang mendalami ilmunya.
Menurut
Az Zarqani, keberadaan ayat-ayat mutasyabihat mempunyai beberapa hikmah:
1. Merupakan
rahmat Allah SWT bagi umat manusia yang lemah. Jika semuanya diungkap
hakikatnya oleh Allah SWT, manusia tidak akan sanggup memikulnya. Oleh karena
itu, Allah merahasiakan kapan datangnya Hari Akhir. Allah merahasiakan itu
supaya setiap orang selalu berusaha mengisi
2. kehidupannya dengan baik dan menjauhi
keburukan
3. Ujian
bagi manusia yang mendapatkan petunjuk tentu mereka akan mengimaninya sekalipun
tidak tahu bagaimana hakikatnya.
4. Al
Qur’an mencakup dakwah terhadap orang-awam dan dakwah terhadap kaum
intelektual. Al Qur’an menjelaskan hal-hal ghaib dengan pendekatan inderawi
sehingga dapat diterima oleh orang awam
5. Sebagai
bukti kelemahan manusia, hanya sedikit yang diketahui oleh manusia betapapun
mereka bersungguh-sungguh dalam berusaha untuk mengetahuinya. Hanya Allah SWT
yang mengetahui segalanya. Dengan demikian hilanglah kesombongan manusia,
sehingga mereka tunduk dan patuh kepada Allah SWT
6. Memberi
peluang terjadinya perbedaan pemahaman terhadap ayat-ayat Al Qur’an. Sehingga
terbuka ruang untuk dialog.
Sedangkan
untuk ayat-ayat mutasyabihat kelompok kedua dan ketiga, yaitu ayat-ayat
mutasyabihat yang dapat diketahui oleh siapa saja setelah mempelajarinya dan
ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh orang awam, tetapi hanya
dapat diketahui oleh para ulama yang mendalaminya, hikmahnya sebagai berikut:
1. Menunjukkan
mukjizat Al Qur’an. Misalnya dari segi bahasa, jika ayat-ayat mutasyabihat itu
dibahas lebih mendalam, terungkaplah keindahan, ketelitian dan kehalusan bahasa
Al Qur’an.
2. Memudahkan
untuk menghafal dan menjaga Al Qur’an, karena ungkapan Al Qur’an yang ringkas
dan padat memuat berbagai macam segi dan aspek
3. Mengungkap
ayat-ayat mutasyabihat lebih sulit dan lebih berat, bertambah banyak kesulitan
dalam mengungkapnya semakin menambah banyak pahala yang didapat. Untuk
mendapatkan surga memang memerlukan perjuangan sungguh-sungguh
4. Untuk
mengungkap makna ayat-ayat mutasyabihat diperlukan berbagai macam ilmu seperti
ilmu bahasa-nahwu, sharf dan balaghah-ushul fiqh dan lainnya, sehingga
keberadaan ayat-ayat mutasyabihat mendorong berkembangnya bermacam-macam ilmu
5. Untuk mengungkap ayat-ayat
mutasyabihat para pengkaji dan peneliti memerlukan bantuan dalil-dalil akal,
yang dengan demikian dapat terbebas dari kegelapan taqlid.
BAB III
PENUTUP
1.
Simpulan
Muhkam adalah
ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak menimbulkan
pertanyaan jika disebutkan. Sedang mutasyabih adalah ayat-ayat yang
maknanya belum jelas.
Ulama’ berbeda pendapat dalam hal
memahami ayat-ayat mutasyabih, yaitu antara bisa tidaknya manusia
memahami/memaknai ayat-ayat mutasyabihat.
Sebab munculnya ayat muhkam
mutasyabih terbagi menjadi tiga tinjauan yaitu, Adanya kesamaran dalam lafadz,
kesamaran makna ayat dan kesamaran makna dan ayat.
Terdapat tiga macam ayat mutasyabih
yaitu ayat yang tidak bisa dipahami oleh
manusia, yang bisa dipahami semua
orang dengan pemahaman yang dalam dan ayat yang bisa dipahami oleh pakarnya saja.
Terdapat hikmah adanya ayat-ayat
muhkamat dan mutasyabihat yang secara garis besar masuk pada tataran pemafaman
dan penggunaan logika akal.
2.
Saran
Dalam memahami ayat-ayat muhkamat
dan mutasyabihat tentunya akan menemui perbedaan antara ulama satu dengan yang
lainnya. Maka dari itu, kita sebagi mahasiswa tidak sepantasnya saling salah
menyalahkan pendapat satu dengan yang lainnya. Karena setiap pendapat yang
dikeluarkan oleh para ulamak tentunya semuanya memiliki dasar. Kita harus lebih
bijak dalam mengatasi perbedaan.
Daftar Pustaka
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2001, Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an, Bogor:Lintera Antar Nusa
Anwar, Rosihon. 2000, Ulumul Qur’an. Bandung:
Pustaka Setia
Marzuki, Kamaluddin, 1992, Ulum Al Qur’an, Bandung: Remaja
Rosdakarya Offset
Ilyas, Yanuar, 2013, Kuliah Ulumul Qur’an, Yogyakarta: ITQAN
Publishing
Makalah Muhkam dan Mutasyabih
Reviewed by ELIDA KUSUMAS
on
08:00
Rating:
No comments:
Note: only a member of this blog may post a comment.