
Tuesday, 3 May 2016
Tuesday, 19 April 2016
Tuesday, 12 April 2016
Tuesday, 29 March 2016
Wednesday, 23 March 2016
Tuesday, 15 March 2016
Manajemen Risiko: Perbandingan Risiko Pasar dan Risiko Likuiditas
Tugas Kuliah Manajemen Risiko: Perbandingan Risiko Pasar dan Risiko Likuiditas Bank BNI Konvensional dengan Bank BRI Syariah
Tabel
Perhitungan Risiko Kredit Bank BNI Konvensional dengan Bank BRI Syariah tahun
2010 – 2014
Rumus NPL digunakan
untuk mengukur tingkat kesehatan Bank BNI Konvensional pada faktor risiko
kredit, sedangkan untuk Bank BRI Syariah menggunakan rumus NPF. Rasio NPL dan
NPF dapat menunjukkan kemampuan bank dalam mengelola kredit
bermasalah/pembiayaan bermasalah dari keseluruhan kredit/pembiayaan yang
diberikan oleh bank. Hasil dari perhitungan rasio NPL menunjukkan bahwa risiko
kredit Bank BNI Konvensional dari tahun 2010 sampai tahun 2014 semakin menurun,
artinya dapat mengindikasikan kelangsungan keuangan Bank BNI Konvensional yang
baik. Sedangkan untuk NPF Bank BRI Syariah semakin naik, artinya Bank BRI
Syariah perlu berhati-hati terhadap pembiayaan macet maupun yang tidak lancar.
Tabel Perhitungan Risiko Likuiditas Bank BNI Konvensional dengan
Bank BRI Syariah tahun 2010 – 2014
Rasio LDR
digunakan untuk mengukur perbandingan jumlah kredit yang diberikan bank dengan
dana yang diterima oleh bank, yang menggambarkan kemampuan bank dalam membayar
kembali penarikan dana oleh masyarakat dengan mengandalkan kredit yang
diberikan sebagai sumber likuiditasnya. LDR digunakah untuk Bank BNI
Konvensional, sedangkan untuk Bank BRI Syariah menggunkana istilah FDR.
Dari tabel
tersebut dapat dilihat bahwa LDR Bank BNI Konvensional dari tahun 2010 sampai
tahun 2014 semakin tinggi. Rasio LDR yang semakin tinggi harus diperhatikan
oleh Bank BNI Konvensional, karena tingginya rasio LDR tersebut mengindikasikan
bahwa semakin rendah kemampuan likuiditas sebuah bank karena terlalu besar
jumlah dana masyarakat yang dialokasikan ke kredit. Sedangkan untuk Bank BRI
Syariah, dari tahun 2010 sampai tahun 2013 juga mengalami peningkatan, namun
pada tahun 2014, rasio FDR semakin rendah. Artinya Bank BRI Syariah mulai
memperkuat kemampuan likuiditasnya.
Tabel Perhitungan Risiko Likuiditas Bank BNI Konvensional dengan
Bank BRI Syariah tahun 2010 – 2014
Rasio LAR
digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam memenuhi permintaan kredit dengan
menggunakan total aset yang dimiliki bank. Nilai rasio LAR Bank BNI
Konvensional dari tahun 2010 hingga 2014 tergolong sangat baik karena nilai
rasio lebih dari 50% dan kurang dari 75%. Nilai rasio LAR Bank BNI Konvensional
dari tahun 2010 hingga tahun 2014 mengalami peningkatan. Nilai rasio LAR yang
terus meningkat memang baik tetapi harus tetap diperhatikan, jika kenaikan
tersebut semakin besar hingga nilai rasio mencapai lebih besar dari 75% maka
bank tersebut terindikasi tidak likuid.
Sedangkan nilai
rasio LAR untuk Bank BRI Syariah dari tahun 2010 hingga 2014 cenderung
fluktuative. Pada tahun 2014 rasio LAR Bank BRI Syariah semakin kecil yaitu
77,13%. Bank BRI Syariah harus terus memantau pembiayaan yang diberikan kepada
nasabah, agar dapat mempertahankan likuiditasnya. Nilai Rasio LAR yang terlalu
besar mengindikasikan bahwa bank beresiko mengeluarkan asetnya lebih banyak
untuk membiayai kredit yang terindikasi bermasalah. Apabila kredit yang
diberikan lebih banyak, risiko yang didapatkan dari kredit tersebut akan
semakin besar juga dan dapat mempengaruhi likuiditas bank atas aset yang
dimilikinya.
Kesimpulan:
Risiko kredit: Untuk risiko kredit, Bank BNI Konvensional lebih
baik dalam mengelola kredit bermasalah dibandingkan Bank BRI Syariah. Sehingga
Bank BNI Konvensional memiliki risiko kredit yang lebih kecil daripada Bank BRI
Syariah.
Risiko Likuiditas: Dari segi likuiditas, Bank BNI Konvensional
lebih baik dibanding Bank BRI Syariah.
file dapat didownload di:
https://drive.google.com/file/d/0B-LYG9n8XrjJQ1FRcUd2NmpzX0k/view?usp=sharing
file dapat didownload di:
Tuesday, 1 March 2016
Manajemen Risiko: Contoh Kasus
Tugas Kuliah
Bank Syariah
Mandiri Dibobol Rp 50 Miliar Oleh Orang Dalam
Bank Syariah
Mandiri (BSM) merugi Rp 50 miliar akibat aksi penggelapan dan pemalsuan
dokumen. Pelakunya terdiri dari empat orang, termasuk dua di antaranya adalah
orang dalam alias pegawai bank itu sendiri.
Kasubdit Fiskal
Moneter dan Devisa Direktorat Reserse Kriminal Khusus Ajun Komisaris Besar Ari
Ardian, mengatakan penelusuran kasus ini dimulai dari adanya laporan dari bank
tersebut karena menyadari adanya kerugian mencapai miliran rupiah.
"Ternyata
setelah diselidiki, terjadi penggelapan dan pemalsuan dokumen yang seakan-akan
diajukan oleh nasabah sehingga membuat bank tersebut mencairkan deposito,"
kata Ari, Senin (2/2/2014) dalam keterangan pers di Mapolda Metro Jaya.
Kata dia, pelaku
kasus tersebut adalah AA (42) yang merupakan manajer marketing BSM cabang Gatot
Subroto, FSD (38) yaitutrade specialist officer BSM, ID (42) yang bekerja sebagai
pemain saham, dan RS (37) yang merupakan makelar.
Kasus ini berawal
pada 16 Juli 2014, PT PPI menitipkan dana sebesar Rp 75 miliar kepada ID dan RS
yang berprofesi sebagai makelar.
Sebagian dana
tersebut kemudian didepositokan ke BSM sebesar Rp 50 miliar, dan sisa uang Rp
25 miliar itu dialirkan ke beberapa pihak sekaligus yaitu, Rp 9 miliar ditarik
tunai, Rp 10 miliar ke rekening, Rp 3,5 miliar ke sebuah rekening, Rp 1 miliar
ke sebuah rekening lainnya, Rp 950 juta ke rekening BSM, dan lain-lain dengan
total Rp 550 juta.
Selanjutnya, para
pelaku bekerja sama dengan sebuah perusahaan yaitu PT HI yang mengajukan surat
kredit berdokumen dalam negeri (SKBDN) di BSM. Dana dari SKBDN tersebut
diterima oleh PT Kaffa Konstruksi.
AA dan FSD yang
merupakan pegawai bank kemudian membuat surat pemblokiran deposito sebagai
jaminan dari SKBDN.
"Dengan
adanya jaminan itu, bank kemudian mencairkan deposito untuk keperluan SKBDN
sebesar Rp 50 miliar dengan diskonto 10 persen sehingga yang cair adalah Rp
45.687.500.000," ucap Ari.
Kemudian, pada 15
Oktober 2014, BSM mendapat surat dari PT PPI yang memberitahu pada tanggal 17
Oktober 2014 deposito atas nama PT PPI sebesar Rp 50 miliar akan dicairkan.
Padahal deposito tersebut sudah dijadikan jaminan atas SKBDN oleh PT HI.
"Maka pihak BSM berpotensi mengalami kerugian Rp 50 miliar," ucap
Ari.
Para pelaku
terancam dikenakan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah dengan ancaman penjara 15 tahun dan denda Rp 200 miliar.
Selain itu,
mereka juga dapat dikenakan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010
tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dengan
ancaman hukuman 20 tahun dan denda Rp 10 miliar.