Tuesday, 15 March 2016

Manajemen Risiko: Perbandingan Risiko Pasar dan Risiko Likuiditas

Tugas Kuliah Manajemen Risiko: Perbandingan Risiko Pasar dan Risiko Likuiditas Bank BNI Konvensional dengan Bank BRI Syariah

Tabel Perhitungan Risiko Kredit Bank BNI Konvensional dengan Bank BRI Syariah tahun 2010 – 2014
                   

           Rumus NPL digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan Bank BNI Konvensional pada faktor risiko kredit, sedangkan untuk Bank BRI Syariah menggunakan rumus NPF. Rasio NPL dan NPF dapat menunjukkan kemampuan bank dalam mengelola kredit bermasalah/pembiayaan bermasalah dari keseluruhan kredit/pembiayaan yang diberikan oleh bank. Hasil dari perhitungan rasio NPL menunjukkan bahwa risiko kredit Bank BNI Konvensional dari tahun 2010 sampai tahun 2014 semakin menurun, artinya dapat mengindikasikan kelangsungan keuangan Bank BNI Konvensional yang baik. Sedangkan untuk NPF Bank BRI Syariah semakin naik, artinya Bank BRI Syariah perlu berhati-hati terhadap pembiayaan macet maupun yang tidak lancar.


Tabel Perhitungan Risiko Likuiditas Bank BNI Konvensional dengan Bank BRI Syariah tahun 2010 – 2014
                  

            Rasio LDR digunakan untuk mengukur perbandingan jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank, yang menggambarkan kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana oleh masyarakat dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. LDR digunakah untuk Bank BNI Konvensional, sedangkan untuk Bank BRI Syariah menggunkana istilah FDR.
            Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa LDR Bank BNI Konvensional dari tahun 2010 sampai tahun 2014 semakin tinggi. Rasio LDR yang semakin tinggi harus diperhatikan oleh Bank BNI Konvensional, karena tingginya rasio LDR tersebut mengindikasikan bahwa semakin rendah kemampuan likuiditas sebuah bank karena terlalu besar jumlah dana masyarakat yang dialokasikan ke kredit. Sedangkan untuk Bank BRI Syariah, dari tahun 2010 sampai tahun 2013 juga mengalami peningkatan, namun pada tahun 2014, rasio FDR semakin rendah. Artinya Bank BRI Syariah mulai memperkuat kemampuan likuiditasnya.



Tabel Perhitungan Risiko Likuiditas Bank BNI Konvensional dengan Bank BRI Syariah tahun 2010 – 2014
                 

            Rasio LAR digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam memenuhi permintaan kredit dengan menggunakan total aset yang dimiliki bank. Nilai rasio LAR Bank BNI Konvensional dari tahun 2010 hingga 2014 tergolong sangat baik karena nilai rasio lebih dari 50% dan kurang dari 75%. Nilai rasio LAR Bank BNI Konvensional dari tahun 2010 hingga tahun 2014 mengalami peningkatan. Nilai rasio LAR yang terus meningkat memang baik tetapi harus tetap diperhatikan, jika kenaikan tersebut semakin besar hingga nilai rasio mencapai lebih besar dari 75% maka bank tersebut terindikasi tidak likuid.
            Sedangkan nilai rasio LAR untuk Bank BRI Syariah dari tahun 2010 hingga 2014 cenderung fluktuative. Pada tahun 2014 rasio LAR Bank BRI Syariah semakin kecil yaitu 77,13%. Bank BRI Syariah harus terus memantau pembiayaan yang diberikan kepada nasabah, agar dapat mempertahankan likuiditasnya. Nilai Rasio LAR yang terlalu besar mengindikasikan bahwa bank beresiko mengeluarkan asetnya lebih banyak untuk membiayai kredit yang terindikasi bermasalah. Apabila kredit yang diberikan lebih banyak, risiko yang didapatkan dari kredit tersebut akan semakin besar juga dan dapat mempengaruhi likuiditas bank atas aset yang dimilikinya.

Kesimpulan:
Risiko kredit: Untuk risiko kredit, Bank BNI Konvensional lebih baik dalam mengelola kredit bermasalah dibandingkan Bank BRI Syariah. Sehingga Bank BNI Konvensional memiliki risiko kredit yang lebih kecil daripada Bank BRI Syariah.

Risiko Likuiditas: Dari segi likuiditas, Bank BNI Konvensional lebih baik dibanding Bank BRI Syariah. 

file dapat didownload di:
https://drive.google.com/file/d/0B-LYG9n8XrjJQ1FRcUd2NmpzX0k/view?usp=sharing

Tuesday, 1 March 2016

Manajemen Risiko: Contoh Kasus

Tugas Kuliah
Bank Syariah Mandiri Dibobol Rp 50 Miliar Oleh Orang Dalam

Bank Syariah Mandiri (BSM) merugi Rp 50 miliar akibat aksi penggelapan dan pemalsuan dokumen. Pelakunya terdiri dari empat orang, termasuk dua di antaranya adalah orang dalam alias pegawai bank itu sendiri. 
Kasubdit Fiskal Moneter dan Devisa Direktorat Reserse Kriminal Khusus Ajun Komisaris Besar Ari Ardian, mengatakan penelusuran kasus ini dimulai dari adanya laporan dari bank tersebut karena menyadari adanya kerugian mencapai miliran rupiah. 
"Ternyata setelah diselidiki, terjadi penggelapan dan pemalsuan dokumen yang seakan-akan diajukan oleh nasabah sehingga membuat bank tersebut mencairkan deposito," kata Ari, Senin (2/2/2014) dalam keterangan pers di Mapolda Metro Jaya. 
Kata dia, pelaku kasus tersebut adalah AA (42) yang merupakan manajer marketing BSM cabang Gatot Subroto, FSD (38) yaitutrade specialist officer BSM, ID (42) yang bekerja sebagai pemain saham, dan RS (37) yang merupakan makelar. 
Kasus ini berawal pada 16 Juli 2014, PT PPI menitipkan dana sebesar Rp 75 miliar kepada ID dan RS yang berprofesi sebagai makelar. 
Sebagian dana tersebut kemudian didepositokan ke BSM sebesar Rp 50 miliar, dan sisa uang Rp 25 miliar itu dialirkan ke beberapa pihak sekaligus yaitu, Rp 9 miliar ditarik tunai, Rp 10 miliar ke rekening, Rp 3,5 miliar ke sebuah rekening, Rp 1 miliar ke sebuah rekening lainnya, Rp 950 juta ke rekening BSM, dan lain-lain dengan total Rp 550 juta. 
Selanjutnya, para pelaku bekerja sama dengan sebuah perusahaan yaitu PT HI yang mengajukan surat kredit berdokumen dalam negeri (SKBDN) di BSM. Dana dari SKBDN tersebut diterima oleh PT Kaffa Konstruksi. 
AA dan FSD yang merupakan pegawai bank kemudian membuat surat pemblokiran deposito sebagai jaminan dari SKBDN. 
"Dengan adanya jaminan itu, bank kemudian mencairkan deposito untuk keperluan SKBDN sebesar Rp 50 miliar dengan diskonto 10 persen sehingga yang cair adalah Rp 45.687.500.000," ucap Ari. 
Kemudian, pada 15 Oktober 2014, BSM mendapat surat dari PT PPI yang memberitahu pada tanggal 17 Oktober 2014 deposito atas nama PT PPI sebesar Rp 50 miliar akan dicairkan. Padahal deposito tersebut sudah dijadikan jaminan atas SKBDN oleh PT HI. "Maka pihak BSM berpotensi mengalami kerugian Rp 50 miliar," ucap Ari. 
Para pelaku terancam dikenakan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dengan ancaman penjara 15 tahun dan denda Rp 200 miliar. 

Selain itu, mereka juga dapat dikenakan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dengan ancaman hukuman 20 tahun dan denda Rp 10 miliar.