Monday, 27 October 2014

Pengertian Filsafat

Mata kuliah Filsafat - Semester 1

Filsafat merupakan ilmu yang memperlajari kejadian yang terjadi di kehidupan nyata yang kemudian dikaitkan dengan pemikiran manusia secara kritis. Artinya, dengan mengandalkan logika, manusia harus mampu mempertanyakan lebih dalam suatu kejadian yang terjadi di dunia ini.
Filsafat menurut saya adalah mata kuliah yang mampu menguras pikiran. Karena dalam mata kuliah filsafat, mahasiswa dituntut untuk berfikir secara kritis dalam menanggapi semua kejadian di dunia. Selain itu, mengkaitkan filsafat dengan agama atau spiritual. Yang kadang kala membuat semakin membingungkan dan sulit diterima, karena jawaban dari peristiwa tidak dapat dijelaskan dengan logika manusia.
Ketika pertama kali mendapatkan mata kuliah ini, merasa begitu tertarik. Tertarik karena sepertinya mata kuliah ini akan sangat menyenangkan. Mendapatkan ilmu yang berhubungan dengan akal pikiran manusia. Belajar mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia. Mempelajari bagaimana peristiwa dalam kehidupan jika kita sangkut pautkan dengan akal, akankah selalu selaras dan dapat diterima oleh akal atau tidak. Meskipun demikian, semakin bertambahnya materi kuliah yang diberikan, semakin sulit diterima untuk dipelajari.
Ketika kita mendapatkan materi dan menganalisis, bapak dosen selalu berkata bahwa kita tidak perlu mencari tahu lebih lanjut jika memang pikiran kita sudah tidak sampai. Misalnya mengenai materi kebenaran dan sesuatu yang dapat dinyatakan ada. Sesuatu dapat dikatakan benar apabila ada data, fakta dan masuk akal. Kebenaran yang disangkut pautkan dengan peristiwa yang sudah diyakini benar namun sulit dibuktikan, akan membuat kita bertanya-tanya. Seperti peristiwa Isra’ Mi’raj yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau melakukan perjalan ke surga hanya dalam satu malam. Pikiran kita yang awalnya sudah yakin bahwa Nabi Muhammad SAW memang dapat melakukan perjalanan tersebut, tiba-tiba dalam filsafat membahas masalah terebut melalui konsep kebenaran yang akhirnya membuat kita mempertanyakan kebenarannya. Namun peritiwa tersebut memang benar walaupun manusia tidak dapat membuktikanya, karena peristiwa tersebut sudah dijelaskan dalam Al Qur’an. Selain itu, peristiwa tersebut dapat dikatakan benar karena setiap orang yang beragama Islam meyakininya dalam hati. Dari peristiwa tersebut dapat saya simpulkan bahwa kebenaran tersebut ada batasnya, yaitu apabila ada peristiwa yang tidak dapat diterima oleh akal dan tidak dapat dibuktikan, maka kebenaran tersebut hanya dari Allah SWT.
Sesuatu juga dapat dikatakan benar apabila mayoritas masyarakat membenarkan peristiwa tersebut. Maksudnya, jika ada suatu peristiwa yang dapat dilihat oleh orang, namun hanya satu orang saja yang melihatnya, belum tentu masyarakat lain yang tidak melihatnya akan membenarkan peristiwa teresebut. Butuh beberapa saksi yang benar-benar melihat peristiwa itu agar dapat dikatakan benar. Maka suatu peristiwa dapat dinyatakan benar apabila mayoritas masyarakat mengakui keberadaan peristiwa tersebut.
Pengakuan peristiwa tersebut dapat dilakukan dengan cara melihat langsung peristiwa tersebut. Contohnya, peristiwa hujan, hujan merupakan peristiwa alam yang terjadinya tidak hanya pada satu tempat, dan terjadinya hujan tidak mungkin bersamaan dalam satu negara. Oleh karena itu perlu pembuktian untuk memastikan daerah A terjadi hujan atau tidak.  Jika ada satu orang saja yang mengalami peritiwa kehujanan di daerah A, kemudian mengabarkan kepada orang-orang di daereah lain bahwa telah terjadi hujan di daerah A. Namun belum tentu masyarakat di daerah itu mempercayai kebenaran terjadinya hujan di daerah A, karena hanya ada satu orang yang mengalami kehujanan di daerah A. Akan tetapi jika beberapa orang mengalami kehujanan di daerah A, bisa jadi masyarakat di daerah lain mengakui kebenaran peristiwa hujan yang terjadi di daerah A tersebut. Jadi, kebenaran itu juga dapat dinyatakan apabila ada bukti dan mayoritas masyarakat mempercayai peristiwa yang terjadi itu.
Dari konsep kebenaran tersebut kemudian saya berfikir bahwa Allah SWT menciptakan manusia dengan segala kekurangan dan kelebihan. Setiap manusia mempunyai hati yang dapat digunakan untuk meyakini segala hal yang terjadi. Manusia juga diberi pikiran yang mana digunakan untuk berfikir mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk.
Kemudian mengenai materi sesuatu yang dapat dikatakan ada. Sesuatu dapat dikatakan ada apabila kita berfikir. Berfikir mengenai keberadaan sesuatu tersebut. Bahkan bapak dosen juga berkata bahwa, apabila mahasiswa mau diakui keberadaannya di kelas atau dinyatakan hadir, maka mahasiswa tersebut harus bisa berfikir. Berfikir dan menanggapi suatu keadaan, kemuadian dikemukakanlah hasil pemikiran tersebut.
Ada atau tidaknya suatu peristiwa tergantung pada pemikiran manusia itu sendiri. Maksudnya, seseorang menyakini adanya suatu benda, misalnya pensil yang tergeletak di meja. Seseorang tersebut akan menggunakan akal pikirannya dan menuangkannya pada keberadaan pensil tersebut. Orang tersebut meyakini adanya pensil di meja, maka pensil di meja tersebut ada. Manusia diberi akal oleh Allah SWT untuk berfikir mana yang ada dan mana yang tidak ada. Karena dari pikiran itulah sesuatu dapat dikatakan ada.
Dari sekian materi yang saya dapatkan sampai akhir semester, hanya materi tentang konsep kebenaran dan sesuatu yang dapat dikatakan ada saja yang masih teringat dipikiran. Karena mungkin materi tersebut merupakan materi awal yang tidak terlalu susah dan penyampaiannya lebih terperinci. Kedua materi tersebut sedikit demi sedikit mengubah cara pandang saya terhadap suatu masalah yang saya alami.
Kebenaran dan adanya sesuatu tersebut sering saya renungkan saat saya mengalami keterpurukan. Misalnya ketika saya menjadi bahan pembicaraan orang-orang karena dianggap telah berbicara sembarangan mengenai orang lain. Kemudian saya yakin bahwa saya tidak pernah berkata sembarangan, saya hanya bertanya dengan sopan mengenai suatu masalah. Namun apa yang saya tanyakan tidak tersampaikan kepada orang yang tepat dan membuat kacau semuanya. Dalam masa keterpurukan, saya menyadari bahwa apa yang saya tanyakan itu benar, dan didukung oleh pihak-pihak lain. Namun mengapa orang-orang beranggapan tidak demikian, itu yang menjadi pertanyaan besar saat itu. Kemudian saya meyakini bahwa saya benar dan orang yang benar tidak perlu takut dalam mengungkap suatu masalah. Dari situlah kemudian muncul sedikit demi sedikit penyelesaian masalah yang hanya dianggap sebagai kekilafan dan kesalah pahaman. Dari peristiwa tersebut, yang saya yakini sampai sekarang adalah orang tidak perlu takut jika dia memang benar, namun benar tersebut harus mempunyai bukti.
Selain itu, saat pertama kali melakukan ujian dengan materi kebenaran dan ada teresebut pernah membuat kepala saya benar-benar sakit. Rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum sampai membuat mual perut. Itu terjadi ketika pada siang hari ketika belajar materi tersebut. Dengan sangat serius saya mencoba memahami kata demi kata. Awalnya masih bisa diterima oleh akal dan dapat diingat, namun tidak lama kemudian kepala terasa sakit dan susah hilang sakitnya. Sampai saya mencoba untuk tidur, namun ketika bangun masi terasa sakit. Hingga pada ujungnya minum obat sakit kepala, namun tidak ada hasilnya. Sampailah pada hari dimana ujian filsafat dilaksanakan. Kepala saya masi terasa sakit meskipun sudah meminum obat.
Soal mulai dibagikan, dan ketika saya lihat ternyata soalnya mengenai analisis terhadap peristiwa. Apa yang saya pelajari tidak keluar, hanya kebenaran dan sesuatu yang dikatakan ada yang muncul di soal. Saya berfikir, walaupun demikian saya tetap harus berusaha untuk mengerjakan soal tersebut meskipun kepala masih sakit. Saya mencoba menggali contoh peristiwa darik konsep-konsep tersebut.
Satu demi satu soal terselesaikan meskipun kepala terasa sakit. Tidak lama kemudian, saya merasa perul mual dan ingin muntah dan kepala semakin sakit. Saya pikir ini terjadi karena pikiran terlalu dipaksakan dan istirahat yang kurang. Saya merasa demikian sampai semua soal dapat saya jawab sesuai apa yang ada dalam pikiran saya. Jawaban yang saya tulis hanyalah karangan yang saya ambil dari pikiran saya sendiri.
Dari peristiwa-peristiwa yang saya alami itulah yang menjadikan konsep kebenaran dan konsep keberadaan sesuatu itu masih teringat sampai sekarang. Memang seharusnya tidak hanya kedua konsep tersebut yang dapat diingat, namun untuk saat ini saya baru berhasil merealisasikan konsep tersebut dalam kehidupan saya. Dari kedua konsep tersebut, saya mencoba untuk lebih memaknai hidup dan berusaha menerima apa yang sudah ada sekarang. maksudnya saya berusaha mencapai kebenaran dan menyatakan sesuatu itu ada dengan cara apa yang sudah ada didalam diri saya. Karena setiap manusia diberi anugerah oleh Allah SWT untuk berfikir.
Selain itu, saya masih berusaha untuk berfikir kritis, karena pemikiran kritis ini masih ada dalam hati dan belum berani untuk dinyatakan. Oleh karena itu, saya pikir, saya masih belum dapat dinyatakan ada dalam suatu perkumpulan, karena masih belum mampu menyumbang pemikiran yang lebih baik. Namun saya terus berusaha, yaitu dengan mengikuti oraganisasi yang ada di kampus, seperti Kopma.
Ada yang mengatakan bahwa seseorang tidak dianggap keberadaannya, tidak pernah ditanyakan keberadaannya oleh orang lain, namun orang tersebut mampu menjadi orang yang bermanfaat bagi setiap orang, itu akan jauh lebih mulia. Dan itupun sebenarnya membingungkan bagi saya, disisi lain keberadaan seseorang diperukan, namun jika tidak terlihat manfaatnya akan percuma, dan sisi lain berkata bahwa keberadaan seseorang tidak harus dipertanyakan, yang penting adalah manfaatnya bagi semua orang.
Kita sebagai manusia yang sudah mampu berfikir kritis tentunya sudah tahu mana yang patut dijadikan patokan dan mana yang tidak patut untuk dijadikan patokan. Semuanya kembali kepada diri kita masing-masing dan kepercayaan dalam hati.

Makalah Ushul Fiqh: Fatwa Sahabat dan Syar'u Man Qablana



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

            Ushul fiqh sebagai disiplin ilmu mandiri adalah ilmu yang menerangkan tentang kaidah-kaidah dan pembahasan–pembahasan yang dapat mengantarkan pada penggalian hukum syari’ah amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci. Salah satu objek kajian Ushul fiqh adalah sumber dan dalil hukum syar’I.
            Al Qur’an dan As Sunnah merupakan sumber hukum syar’i dan juga disebut pula dalil (petunjuk) utama hukum Islam. Selain Al Qur’an dan As Sunnah adapun dalil-dalil pendukung seperti Ijmak, Qiyas, Istihsan, Mashlahah mursalah, Saddudz-dzari’ah, ‘Urf, Istishhab, Fatwa Sahabat, dan Syar’u man qablana.
            Sumber dan dalil hukum islam dikelompokkan menjadi dua yaitu yang disepakati dan yang masih diperselisihkan oleh Jumhur ulama. Adapun yang telah disepakati adalah Al-qur’an dan Sunnah, serta Ijma’ dan qiyas sedangkan 7 dalil hukum islam yang masih menjadi perselisihan Jumhur ulama yaitu: Mashalihul Mursalah, Istihsan, Saddudz Dzari’ah, ‘Urf, Istishab, Mazhab Shahabi/ Fatwa Sahabat dan Syar’u Man Qablana.
            Adanya sumber hukum yang masih diperdebatkan karena perbedaan metode atau tata cara merumuskan hukum atas suatu perbuatan atau permasalahan, terutama pada perbuatan atau masalah yang tidak disebutkan dan/atau diatur secara rinci dalam Al-Qur’an dan Hadits.
            Dalam makalah ini pembahasan lebih terfokus kepada Fatwa Sahabat dan Syar’u Man Qoblana

B.     Rumusan Masalah
a.                   Apa yang dimaksud dengan Fatwa Sahabat?
b.                  Apa saja macam-macam dari Fatwa Sahabat?
c.                   Apa yang dimaksud dengan Syar’u Man Qablana?
d.                  Bagaimana kedudukan Syar’u Man Qablana?



BAB II
PEMBAHASAN

1.      Fatwa Sahabat / Pendapat Sahabat / Qaulush Shahabi

A.    Pengertian

Fatwa sahabat yaitu pendapat sahabat nabi mengenai ketentuan hukum suatu kasus yang tidak diatur secara tegas dalam Qur’an maupun Sunnah.
Pendapat sahabat yang kita maksudkan yang kita pandang pendapatnya hujjah (beralasan), ialah sahabat yang turut berperang bersama Nabi SAW dalam suatu peperangan atau terkenal dan masyur dalam bidang fatwa dan fiqh serta bergaul lama dengan Nabi SAW. Misalnya Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Aisyah, Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Umar.
Walaupun pada dasarnya para sahabat sama dengan umat Islam dari generasi lainnya, namun dalam banyak hal mereka mempunyai kelebihan tersendiri sehubungan dengan kebersamaannya dengan Rasulullah SAW. Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa yang benar-benar mereka kenal dalam kehidupannya sehari-hari. Mereka banyak mengetahui kasus, peristiwa atau kondisi sosial yang melatarbelakangi turunnya (asbab an-nuzul) ayat-ayat tertentu. Mereka pun menyaksikan tindakan serta mendengar dan melaksanakan secara langsung titah atau pengarahan Rasulullah SAW dalam berbagai kaitannya. Hal ini semua membuat mereka lebih mampu memahami kandungan makna Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu, dengan berkat pergaulan (shuhbah)-nya dengan Nabi SAW, kualitas akhlak mereka sangat tinggi sehingga para ulama sepakat mengakui bahwa pada dasarnya mereka semua bersifat adil.
Perkataan sahabat yang tidak mendapat reaksi (tantangan) dari sahabat yang lain menjadi hujjah bagi orang Islam. Sebab persesuaian mereka dalam suatu masalah pada masa mereka hidup masih dekat dengan masa hidup Rasulullah SAW serta pengetahuan mereka yang mendalam mengenai rahasia-rahasia syari’at itu adalah menjadi bukti bahwa ucapan mereka yang tidak mendapat bantahan itu berdasarkan kepada dalil yang qath’i dari Rasulullah SAW.

B.     Macam-Macam Fatwa Sahabat

Fatwa-fatwa sahabat ini dapat dikelompokan dalam empat kategori yaitu:
·         Pendapat sahabat mengenai suatu persoalan yang bukan medan ijhtihad, disepakati sebagai hujjah karena dikategorikan sebagai sunnah yang berasal dari Nabi. Misalnya fatwa ibnu Mas’ud dan Anas bahwa batas minimal haid selama tiga hari, fatwa Aisyah bahwa masa kehamilan paling panjang selama dua tahun.
·         Pendapat sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka masuk kategori ijmak sahabat yang disepakati kehujjahannya. Seperti penetapan hak waris nenek sebanyak seperenam.
·         Pendapat sahabat perorangan tidak mengikat sahabat yang lain. Buktinya dalam banyak kasus terjadi perbedaan pendapat dikalangan mereka.
·         Yang diperselisihkan oleh ulama adalah apakah fatwa secara perseorangan mengikat ulama Islam sesudahnya atau tidak.

Pendapat ulama’ tentang Qaul Shahabi / Fatwa Sahabat

Adapun yang masih diperselisihkan oleh para ulama ialah perkataan sahabat  yang semata-mata berdasarkan hasil ijtihad mereka sendiri dan para sahabat tidak dalam satu pendirian.
Imam Abu Hanifah beserta rekan-rekannya berpendapat bahwa perkataan sahabat itu adalah hujjah. Kata Imam Abu Hanifah: “Apabila aku tidak mendapatkan ketentuan dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW maka aku mengambil pendapat dari sahabat beliau yang kukehendaki dan meninggalkan pendapat yang tidak ku kehendaki. Aku tidak mau keluar dari pendapat sahabat-sahabat tersebut untuk kemudian memilih pendapat selain sahabat.” Perkataan Imam Abu Hanifah ini dapat dipahami bahwa beliau tidak menetapkan perkataan sahabat tertentu itu adalah sebagai hujjah. Beliau membolehkan mengambil pendapat salah seorang sahabat yang dikehendaki akan tetapi tidak boleh melawan pendapat keseluruhan sahabat. Oleh karena itu, mengambil qiyas tidak diperkenankan selama masih ada fatwa dari sahabat, biarpun yang diambil hanya pendapat salah seorang sahabat saja yang dikehendaki. Jika hukum suatu peristiwa terdapat dua macam pendapat, maka yang demikian itu adalah merupakan ijma’ bahwa tidak ada pendapat yang ketiga dan bila ada tiga macam pendapat, maka yang demikian itu adalah merupakan ijma’ bahwa tidak ada pendapat yang keempat. Jadi, keluar dari pendapat mereka keseluruhan berarti keluar dari ijma’ para sahabat
Dengan memandang jenis masalahnya, qaul shahabi seperti ini sebenarnya masih dapat dibagi kepada dua golongan, yaitu yang tidak merupakan lapangan ijtihad, dan yang termasuk lapangan ijtihad.
Mengenai ini, ditemukan beberapa pernyataan Al-Syafi’i yang tidak sama sehingga para ulama ushul fiqh masih berbeda pendapat tentang pendirian al-Syafi’i yang sebenarnya mengenai kehujjahan qaul shahabi, khususnya yang menyangkut masalah-masalah ijtihady.
Al-Ghazali mengutip bahwa pada kitab Ikhtilaf al-Hadits al-Syafi’i mengemukakan adanya riwayat bahwa pada suatu malam Ali melakukan salat enam raka’at dengan enam kali sujud pada tiap-tiap raka’atnya. Kemudian al-Syafi’i berkata,” Kalau saja riwayat tentang perbuatan ‘Ali itu shahih, niscaya saya akan mengamalkannya, sebab masalahnya tidak termasuk lapangan qiyas. Jadi, tentu ia melakukan hal itu berdasarkan tauqif (penetapan) dari Nabi SAW.”
Dengan ini, al-Syafi’i jelas menyatakan pendiriannya bahwa dalam masalah-masalah yang tidak termasuk lapangan qiyas atau ijtihad, qaul shahabi dianggap sebagai hujjah. Adapun mengenai masalah yang termasuk lapangan ijtihad, telah disepakati bahwa pendapat seorang sahabat tidak mengikat bagi sahabat lainnya. Mereka yang mampu berijtihad bebas mengeluarkan pendapatnya masing-masing dan yang tidak mujtahid bebas pula mengikuti salah satu dari pendapat yang ada.

2.      Syar’u Man Qablana

A.    Pengertian 


Syar’u Man Qablana maksudnya adalah syari’ah yang diturunkan Allah pada para Rasul sebelum Nabi Muhammad SAW. Syari’ah dalam bidang akidah tidak dinasakh oleh syari’at Islam. Semua syari’at para Nabi pada dasarnya mengajarkan iman dan melarang kufur dan syirik.
Syar’u Man Qablana yang dimaksudkan disini yaitu hukum-hukum yang berlaku pada umat para nabi sebelum Nabi Muhammad. 

B.     Kedudukan Syar’u Man Qablana

Kedudukan hukum-hukum yang berlaku pada umat nabi sebelum Nabi Muhammad SAW dalam syariat Islam dibedakan menjadi 4 kategori:
·         Hukum-hukum yang berlaku pada umat para nabi sebelum Nabi Muhammad yang tidak disebutkan dalam Qur’an dan Sunnah tidak berlaku pada umat islam. Seandainya berlaku, tentu Nabi Muhammad akan menyuruh umat Islam untuk mempelajari kitab suci sebelum Al Qur’an.
·         Hukum-hukum yang berlaku pada umat nabi sebelum Nabi Muhammad yang disebut dalam Al Qur’an atau Sunnah yang telah dinasakh oleh syariat Islam tidak berlaku pada umat Islam. Seperti taubat dengan cara bunuh diri, haramnya binatang ternak bagi bani israil, dll.
·         Hukum-hukum yang berlaku pada umat para nabi sebelum Nabi Muhammad yang diakui sebagai syariat Islam berlaku bagi umat Islam karena telah menjadi syariat Islam, bukan karena Syar’u Man Qoblana. Seperti Haji, Qurban, Puasa, dan Khitan,
·         Hukum-hukum yang berlaku pada umat nabi sebelum Nabi Muhammad yang disebutkan dalam Qur’an atau sunnah, syariat Islam tidak secara tegas mengakuinya maupun menghapusnya, diperselisihkan oleh ulama. 

Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana

Adapun yang diperselisihkan oleh para ulama itu ialah bila hukum yang diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya itu tidak ada nash yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan bagi kita sebagaimana halnya diwajibkan juga bagi mereka atau bahwa hukum itu telah dihapuskan.
Dalam masalah semacam itu jumhur ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah memandangnya sebagai syari’at yang harus diikuti oleh orang Islam, sepanjang tidak ada dalil yang membatalkannya. Sebab hukum itu merupakan hukum Ilahi yang telah disyariatkan melalui para Rasul-Nya  dan tidak ada dalil yang menasakhkannya. Atas dasar itu, menurut pendapat jumhur Hanafiyah, orang Islam yang membunuh orang dzimmi atau orang laki-laki yang membunuh orang perempuan harus dihukum qishash, berdasarkan hukum yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT kepada kaum Bani Israil. Yaitu siapa yang membunuh seorang manusia harus dibunuh pula, dengan tidak membedakan antara dzimmi atau bukan dan antara laki-laki atau perempuan. Syari’at yang berlaku pada orang-orang Bani Israil tersebut masih tetap berlaku bagi ummat Islam, karena Al-Qur’an menyebutkannya secara mutlak “annannafsa bin-nafsi” (jiwa dengan jiwa) dan tidak ada dalil yang membatalkan atau mengkhususkannya.
Sebagian ulama menyatakannya bukan sebagai syari’at bagi ummat Islam. Sebab syari’at kita adalah menasakh (membatalkan) syari’at yang telah ditetapkan kepada  ummat  sebelum kita. Kecuali ada dalil yang menetapkannya sebagai syari’at kita.

Pendapat lain:
1.      Madzhab Hanafi, Maliki, mayoritas madzhab Syafi’i dan sebagian madzhab Hanbali: Masih berlaku bagi umat Islam.
Dasar dan Argumentasi:
a.         Pada dasarnya syariat itu adalah satu kesatuan yang datang dari Allah Swt. Oleh karena itu apa yang disyariatkan kepada para Nabi dahulu dan disebut di dalam Nash, maka berlaku pula bagi umat Islam. Hal ini ditunjukkan di dalam surat al-Syura ayat 13.
b.        Terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti Nabi terdahulu, sebagaimana yang tercantum di dalam surat al-Nahl ayat 123

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif." dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
2.   Madzhab Mu’tazilah, Syiah, sebagian kecil madzhab Syafi’i dan sebagian Hanbali: Tidak berlaku lagi bagi umat Islam.
Dasar dan argumentasi:
a.    Setiap umat itu mempunyai syariat tersendiri, sebagaimana yang ditunjukkan di dalam surat al-Maidah ayat 48. Itu berarti syariat para Nabi terdahulu tidak berlaku lagi.
b.    Ketika Nabi mengutus Muadz bin Jabbal ke Yaman, Beliau bertanya kepadanya, tentang dengan apa ia memutuskan perkara. Ia jawab dengan al-Quran, Hadis dan Ijtihad. Dalam dialog tersebut tidak terdapat petunjuk Rasul untuk merujuk kepada Syar’u Man Qoblana. Jika hal ini berlaku pasti Nabi akan mewasiatinya.
            Dari dua pendapat di atas, menurut salah seorang ulama Ushul –Abdul Wahab Kholaf- yang terkuat adalah pendapat pertama yang mengata-kan bahwa syariat para Nabi dahulu yang tercantum di dalam Nash dan tidak ada ketegasan pemberlakuannya adalah masih berlaku bagi umat Islam. Alasannya: Syariat Islam hanya menghapus syariat yang berbeda dengan syariat Islam. Dengan demikian syariat terebut masih berlaku bagi umat islam. Selain itu hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran bertujuan untuk memberi petunjuk kepada umat Islam, hal ini menunjukkan bahwa syariat para Nabi terdahulupun masih tetap berlaku, sampai ada dalil yang menghapuskannya.
Apabila Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih mengkisahkan suatu hukum dan ada dalil syar’i yang menunjukkan penghapusan hukum tersebut dan mengangkatnya dari kita, maka juga tidak ada perbedaan pendapat bahwa hukum itu bukanlah syari’at bagi kita berdasarkan dalil yang menghapuskannya dari kita





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Pengertian lain dari Fatwa sahabat adalah pendapat para sahabat Rasulullah SAW, yaitu pendapat para sahabat atas suatu permasalahan yang dinukil para ulama baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Dimana ayat dan hadits tidak menjelaskan hukum atas permasalahan yang dihadapi oleh para sahabat tersebut.
Yang dimaksud Syar’u Man Qablana oleh para ahli usul ialah syari’at yang diturunkan oleh Allah Swt melalui Nabi-nabi atau Rasul-rasul-Nya sebelum Nabi Muhammad SAW.

Fatwa-fatwa sahabat ini dapat dikelompokan dalam empat kategori yaitu:
·         Pendapat sahabat mengenai suatu persoalan yang bukan medan ijhtihad, disepakati sebagai hujjah karena dikategorikan sebagai sunnah tang berasal dari Nabi. Misalnya fatwa ibnu Mas’ud dan Anas bahwa batas minimal haid selama tiga hari, fatwa Aisyah bahwa masa kehamilan paling panjang selama dua tahun.
·         Pendapat sahabat yang disepakai secara tegas dikalangan mereka masuk kategori ijmak sahabat yang disepakati kehujjahannya. Seperti penetapan hak waris nenek sebanyak seperenam.
·         Pendapat sahabat perorangan tidak mengikat sahabat yang lain. Buktinya dalam banyak kasus terjadi perbedaan pendapat dikalangan mereka.
·         Yang diperselisihkan oleh ulama adalah apakah fatwa secara perseorangan mengikat ulama Islam sesudahnya atau tidak.

Kedudukan hukum-hukum yang berlaku pada umat nabi sebelum Nabi Muhammad SAW dalam syariat Islam dibedakan menjadi 4 kategori:
·         Hukum-hukum yang berlaku pada umat para nabi sebelum Nabi Muhammad yang tidak disebutkan dalam Qur’an dan Sunnah tidak berlaku pada umat islam.
·         Hukum-hukum yang berlaku pada umat nabi sebelum Nabi Muhammad yang disebut dalam Al Qur’an atau Sunnah yang telah dinasakh oleh syariat Islam tidak berlaku pada umat Islam. Seperti taubat dengan cara bunuh diri, haramnya binatang ternak bagi bani israil, dll.
·         Hukum-hukum yang berlaku pada umat para nabi sebelum Nabi Muhammad yang diakui sebagai syariat Islam berlaku bagi umat Islam karena telah menjadi syariat Islam, bukan karena Syar’u Man Qoblana. Seperti Haji, Qurban, Puasa, dan Khitan,
·         Hukum-hukum yang berlaku pada umat nabi sebelum Nabi Muhammad yang disebutkan dalam Qur’an atau sunnah, syariat Islam tidak secara tegas mengakuinya maupun menghapusnya, diperselisihkan oleh ulama.




DAFTAR PUSTAKA

Hamid, Homaidi, Ushul Fiqh. Yogyakarta: Q-Media, 2013
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra
Yusuf Al Qaradhawi, Fikih Taysir Metode Praktis Mempelajari Fikih. Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2001